Skip to main content

Strategi Kepemimpinan Ali Bin Abu Thalib


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latarbelakang Masalah
Nabi Muhammad saw. Tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat Islam setelah beliau wafat. Beliau tampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum Muslimin untuk menentukannya sendiri. Kaena itu, tidak lama setelah beliau wafat; belum lagi jenazahnya dimakamkan, sejumlah tokohMuhajirin dan Ashor Berkumpul dibalai kota  Bani Sa’dah, Madinah. 
Mereka memusyawarahkan siapa yang akan menjadi pemimpin. Musyawarah tersebut berjalan cukup alot karena masing-masing pihak, baik pihak Muhajirin maupun Anshar merasa berhak menjadi pemimpin Umat Islam, namun dengan semangat ukhuwah Islamiyah yang tinggi, akhirnya Abu Bakar terpilih melalui musyawarah tersebut.[1]
Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib adalah Khalifah keempat setelah Khalifah Usman Ibnu Affan. Nama lengkap beliau adalah Ali Ibnu Abi Thalib Ibnu Abdul Muthalib Ibnu Hasyim Ibnu Abdi Manaf. Beliau lahir 32 tahun setelah kelahiran Rosulullah Saw. Dan beliaupun termasuk anak asuh Nabi Muhammad Saw. Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib boleh dibilang tangan kanan Nabi Muhammad Saw, ketika di Madinah.
Proses pengangkatan beliau sebagai Khalifah yang mula-mula di tolak oleh beliau karena situasi yang kurang tepat yang banyak terjadi kerusuhan disana sini. Dan karena waktu itu masyarakat butuh pemimpin akhirnya karena desakan masyarakat untuk menjadikan Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib menjadi pemimpin pun akhirnya diterima. Pada tanggal 23 juni 656 Masehi, beliau resmi menjadi Khalifah.[2]
Yang menjadi catatan bagi sosok khalifah seperti Ali Bin Abi Thalib adalah pribadinya yang pernah menolak jadi Pemimpin Islam sebagaimana dikutif pada uraian di atas. Olehnya itu, jika dibawa pada konteks kekinian, maka sangat sulit kita mendapatkan sosok manusia yang menolak jadi pemimpin, bahkan yang terjadi saat ini adalah kecenderungan untuk bersaing dan saling merebut kekuasaan hingga pertumpahan dara atau menjual aqidah demi kekuasaan.

B.       Rumusan Masalah

Berdasar pada uraian latar belakang yang telah dipaparkan, maka permasalahan pokok yang dijadikan obyek pembahasan dalam makalah ini adalah bagaimana sosok khalifah Ali Bin Abi Thalib dan strateginya dalam menghadapi tantangan pada masa pemerintahannya?
Agar pembahasan ini dapat terarah dan tersistematis, maka pokok permasalahan di atas dirinci ke dalam sub-sub masalah sebagai berikut :
1.   Bagaimana Sosok Pribadi Ali Bin Abi Thalib selaku Khalifah?
2.   Bagaimana Strategi yang digunakan Oleh Khalifah Ali Bin Abi Thalib dalam menghadapi tangatang pada masa pemerintahannya?
Sesuai dengan permasalahan di atas, maka pembahasan ini bertujuan untuk menelusuri latar belakang kekhalifaan Ali Bin Abi Thalib. Selanjutnya, akan dipaparkan strategi kepemimpinan beliau dalam urusan agama dan negara.


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Sosok Khalifak Ali Bin Abi Thalib
Ali Bin Abu Thalib bin Abdul Muththalib, bin Hasyim, bin Abdi Manaf, bin Qushayy. Ibunya adalah: Fathimah binti Asad, bin Hasyim, bin Abdi Manaf. Saudara-saudara kandungnya adalah: Thalib, 'Uqail, Ja'far dan Ummu Hani.
Dengan demikian, jelaslah, Ali adalah berdarah Hasyimi dari kedua
ibu-bapaknya. Keluarga Hasyim memiliki sejarah yang cemerlang dalam masyarakat Mekkah. Sebelum datangnya Islam, keluarga Hasyim terkenal sebagai keluarga yang mulia, penuh kasih sayang, dan pemegang kepemimpinan masyarakat. Ibunya adalah Fathimah binti Asad, yang kemudian menamakannya Haidarah. Haidarah adalah salah satu nama singa, sesuai dengan nama ayahnya: Asad (singa). Fathimah adalah salah seorang wanita yang terdahulu beriman dengan Risalah Nabi Muhammad Saw. Dia pula-lah yang telah mendidik Nabi Saw, dan menanggung hidupnya, setelah meninggalnya bapak-ibu beliau, Abdullah dan Aminah. Beliau kemudian membalas jasanya, dengan menanggung kehidupan Ali, untuk meringankan beban pamannya, Abu Thalib, pada saat mengalami kesulitan ekonomi. Saat Fathimah meninggal dunia, Rasulullah Saw yang mulai mengkafaninya dengan baju qamisnya, meletakkannya dalam kuburnya, dan menangisinya, sebagai tangisan seorang anak atas ibunya.[3] Dan karena penghormatan beliau kepadanya, maka beliau menamakan anaknya yang tersayang dengan namanya: Fathimah. Darinyalah kemudian mengalir nasab beliau yang mulia, yaitu anak-anaknya: Hasan, Husein, Zainab al Kubra dan Ummu Kultsum.
Haidarah adalah nama Imam Ali yang dipilihkan oleh ibunya. Namun ayahnya menamakannya dengan Ali, sehingga dia terkenal dengan dua nama tersebut, meskipun nama Ali kemudian lebih terkenal. Anak-anaknya adalah: Hasan, Husein, Zainab, Ummu Kultsum, dari Fathimah binti
Muhammad saw., seorang isteri yang tidak pernah diperlakukan buruk oleh Ali
r.a. selama hidupnya. Bahkan Ali tetap selalu mengingatnya setelah kematiannya. Ia juga mempunyai beberapa orang anak dari isteri-isterinya yang lain, yang ia kawini setelah wafatnya Fathimah r.a. Baik isteri dari kalangan wanita merdeka maupun hamba sahaya. Yaitu: Muhsin, Muhammad al Akbar, Abdullah al Akbar, Abu Bakar, Abbas, Utsman, Ja'far, Abdullah al Ashgar, Muhammad al Ashghar, Yahya, Aun, Umar, Muhammad al Awsath, Ummu Hani, Maimunah, Rahmlah ash Shugra, Zainab ash Shugra, Ummu Kaltsum ash Shugra, Fathimah, Umamah, Khadijah, Ummu al Karam, Ummu Salmah, Ummu Ja'far, Jumanah, dan Taqiyyah.
KEKHILAFAHAN ‘ALI RA.
Setelah ‘Utsman ra. syahid, Ali ra. diangkat menjadi khalifah ke-4. Awalnya beliau ra. menolak, namun akhirnya beliau ra. menerimanya. Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Muhammad bin Al-Hanafiyah berkata: .....Sementara orang banyak datang di belakangnya dan menggedor pintu dan segera memasuki rumah itu. Kata mereka: "Beliau (Utsman ra.) telah terbunuh, sementara rakyat harus punya khalifah, dan kami tidak mengetahui orang yang paling berhak untuk itu kecuali anda (Ali ra.)". Ali ra. berkata kepada mereka: "Janganlah kalian mengharapkan saya, karena saya lebih senang menjadi wazir (pembantu) bagi kalian daripada menjadi Amir". Mereka menjawab: "Tidak, demi Allah, kami tidak mengetahui ada orang yang lebih berhak menjadi khalifah daripada engkau". ‘Ali ra. menjawab: "Jika kalian tak menerima pendapatku dan tetap ingin membaiatku, maka baiat tersebut hendaknya tidak bersifat rahasia, tetapi aku akan pergi ke masjid, maka siapa yang bermaksud membaiatku maka berbaiatlah kepadaku". Pergilah ‘Ali ra. ke masjid dan orang-orang berbaiat kepadanya.
Dalam Tarikh Al-Ya’qubi dikatakan: ‘Ali bin Abi Thalib (ra.) menggantikan ‘Utsman sebagai khalifah... dan dia (ra.) dibaiat oleh Thalhah (ra.), Zubair (ra.), Kaum Muhajirin dan Anshar (radhiyaLlahu anhum). Sedangkan orang yang pertama kali membaiat dan menjabat tangannya adalah Thalhah bin Ubaidillah (ra.).
Imam Ahmad, Abu Daud dan At-Tirmidzy mentakhrij hadits berasal dari Safinah ra., ia berkata: Aku mendengar RasuluLlah saw. bersabda:
Kekhilafahan berlangsung selama 30 tahun dan setelah itu adalah kerajaan.” Safinah ra. berkata: “Mari kita hitung, Khilafah Abu Bakar ra. berlangsung 2 tahun, Khilafah ‘Umar ra. 10 tahun, Khilafah ‘Utsman ra. 12 tahun, dan Khilafah ‘Ali ra. 6 tahun.”
Ali ra. bekerja keras pada masa kekhilafahannya guna mengembalikan stabilitas dalam tubuh umat setelah sebelumnya Ibnu Saba’dan Sabaiyahnya melancarkan konspirasi dan provokasinya guna menghancurkan Islam dari dalam. Pada masa kekepemimpinan Ali ra. ini, Ibnu Saba dan Sabaiyah nya pun kembali melancarkan konspirasi dan makar mereka, sehingga membuat keadaan menjadi semakin rumit. Diriwayatkan bahwa pada akhirnya ‘Ali ra. membakar banyak dari pengikut Sabaiyah ini dan juga mengasingkan Ibnu Saba’ ke Al-Madain.
Sahabat yang lahir dalam keprihatinan dan meninggal dalam Kesunyian. Dialah, khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Ali kecil adalah anak yang malang. Namun, kehadiran Muhammad SAW telah memberi seberkas pelangi baginya. Ali, tidak pernah bisa bercurah hati kepada ayahnya, Abi Thalib, selega ia bercurah hati kepada Rasulullah. Sebab, hingga akhir hayatnya pun, Abi Thalib tetap tak mampu mengucap kata syahadat tanda penyerahan hatinya kepada Allah. Ayahnya tak pernah bisa merasa betapa nikmatnya saat bersujud menyerahkan diri,kepada Allah Rabb semesta sekalian alam.
Kematian ayahnya tanpa membawa sejumput iman begitu memukul Ali. Kelak dari sinilah, ia kemudian bertekad kuat untuk tak mengulang kejadian ini buat kedua kali. Ia ingin, saat dirinya harus mati nanti, anak-anaknya tak lagi menangisi ayahnya seperti tangis dirinya untuk ayahnya, Abi Thalib. Tak cuma dirinya, disebelahnya, Rasulullah pun turut menangisi kenyataan tragis ini...saat paman yang selama ini melindunginya, tak mampu ia lindungi nanti...di hari akhir,karena ketiaadaan iman di dalam dadanya.[4]
Betul-betul pahit, padahal Ali tahu bahwa ayahnya sangatlah mencintai dirinya dan Rasulullah. Saat ayahnya, buat pertama kali memergoki dirinya sholat berjamaah bersama Rasulullah, ia telah menyatakan dukungannya. Abi Thalib berkata, ""Janganlah kau berpisah darinya (Rasulullah), karena ia tidak mengajakmu kecuali kepada kebaikan".
Sejak masih berumur 6 tahun, Ali telah bersama dan menjadi pengikut setia Rasulullah. Sejarah kelak mencatat bahwa Ali terbukti berkomitmen pada kesetiaannya. Ia telah hadir bersama Rasulullah sejak awal dan baru berakhir saat Rasulullah menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ali ada disaat yang lain tiada. Ali adalah tameng hidup Rasulullah dalam kondisi kritis atau dalam berbagai peperangan genting, saat diri Rasulullah terancam.
Kecintaan Ali pada Rasulullah, dibalas dengan sangat manis oleh Rasulullah. Pada sebuah kesempatan ia menghadiahkan kepada Ali sebuah kalimat yang begitu melegenda, yaitu : "Ali, engkaulah saudaraku...di dunia dan di akhirat..."
Ali, adalah pribadi yang istimewa. Ia adalah remaja pertama di belahan bumi ini yang meyakini kebenaran yang disampaikan oleh Rasulullah. Konsekuensinya adalah, ia kemudian seperti tercerabut dari kegermerlapan dunia remaja. Disaat remaja lain berhura-hura. Ali telah berkenalan dengan nilai-nilai spiritual yang ditunjukkan oleh Rasulullah, baik melalui lisan maupun melalui tindak-tanduk beliau. "Aku selalu mengikutinya (Rasulullah SAWW) sebagaimana anak kecil selalu membuntuti ibunya. Setiap hari ia menunjukkan kepadaku akhlak yang mulai dan memerintahkanku untuk mengikuti jejaknya", begitu kata Ali mengenang masa-masa indah bersama Rasulullah tidak lama setelah Rasulullah wafat.[5]
Amirul mukminin Ali, tumbuh menjadi pemuda yang berdedikasi. Dalam berbagai forum serius yang dihadiri para tetua, Ali selalu ada mewakili kemudaan. Namun, muda tak berarti tak bijaksana. Banyak argumen dan kata-kata Ali yang kemudian menjadi rujukan. Khalifah Umar bahkan pernah berkata,"Tanpa Ali, Umar sudah lama binasa"
Pengorbanannya menjadi buah bibir sejarah Islam. Ali-lah yang bersedia tidur di ranjang Rasulullah, menggantikan dirinya, saat rumahnya telah terkepung oleh puluhan pemuda terbaik utusan kaum kafir Quraisy yang hendak membunuhnya di pagi buta. Ali bertaruh nyawa. Dan hanya desain Allah saja semata, jika kemudian ia masih tetap selamat, begitu juga dengan Rasulullah yang saat itu 'terpaksa' hijrah ditemani Abu Bakar seorang.
Keperkasaan Ali tiada banding. Dalam perang Badar, perang pertama yang paling berkesan bagi Rasulullah (sehingga setelahnya, beliau memanggil para sahabat yang ikut berjuang dalam Badar dengan sebutan " Yaa...ahlul Badar..."), Ali menunjukkan siapa dirinya sesungguhnya. Dalam perang itu ia berhasil menewaskan separo dari 70an pihak musuh yang terbunuh. Hari itu, bersama sepasukan malaikat yang turun dari langit, Ali mengamuk laksana badai gurun.[6]
Perang Badar adalah perang spiritual. Di sinilah, para sahabat terdekat dan pertama-tama Rasulullah menunjukkan dedikasinya terhadap apa yang disebut dengan iman. Mulanya, jumlah lawan yang sepuluh kali lipat jumlahnya menggundahkan hati para sahabat. Namun, doa pamungkas Rasulullah menjadi penyelamat dari jiwa-jiwa yang gundah. Sebuah doa, semirip ultimatum, yang setelah itu tak pernah lagi diucapkan Rasulullah..."Ya Allah, disinilah sisa umat terbaikmu berkumpul...jika Engkau tak menurunkan bantuanmu, Islam takkan lagi tegak di muka bumi ini..."
Dalam berbagai siroh, disebutkan bahwa musuh kemudian melihat jumlah pasukan muslim seakan tiada batasnya, padahal jumlah sejatinya tidaklah lebih dari 30 gelintir. Pasukan berjubah putih berkuda putih seperti turun dari langit dan bergabung bersama pasukan Rasulullah. Itulah, kemenangan pasukan iman. Dan Ali, menjadi bintang lapangannya hari itu.
Tak hanya Badar, banyak peperangan setelahnya menjadikan Ali sebagai sosok yang disegani. Di Uhud, perang paling berdarah bagi kaum muslim, Ali menjadi penyelamat karena dialah yang tetap teguh mengibarkan panji Islam setelah satu demi satu para sahabat bertumbangan. Dan yang terpenting, Ali melindungi Rasulullah yang kala itu terjepit hingga gigi RAsulullah bahkan rompal dan darah mengalir di mana-mana. Teriakan takbir dari Ali menguatkan kembali semangat bertarung para sahabat, terutama setelah melihat Rasululah dalam kondisi kritis.
Perang Uhud meski pahit namun sejatinya berbuah manis. Di Uhud, Rasulullah banyak kehilangan sahabat terbaiknya, para ahlul Badar. Termasuk pamannya, Hamzah --sang singa padang pasir. Kedukaan yang tak terperi, sebab Hamzah-lah yang selama ini loyal melindungi Rasulullah setelah Abi Thalib wafat. Buah manisnya adalah, doa penting Rasulullah juga terkabul, yaitu masuknya Khalid bin Walid, panglima musuh di Perang Uhud, ke pangkuan Islam. Khalid kemudian, hingga akhir hayatnya, mempersembahkan kontribusi besar terhadap kemenangan dan perkembangan Islam.
Bagi Ali sendiri, perang Uhud makin menguatkan imagi tersendiri pada sosok Fatimah binti Muhammad SAW. Sebab di perang Uhud, Fatimah turut serta. Dialah yang membasuh luka ayahnya, juga Ali, berikut pedang dan baju perisainya yang bersimbah darah.
Juga di perang Khandak. Perang yang juga terhitung genting. Perang pertama yang sifatnya psyco-war. Ali kembali menjadi pahlawan, setelah cuma ia satu-satunya sahabat yang 'berani' maju meladeni tantangan seorang musuh yang dikenal jawara paling tangguh, ‘Amr bin Abdi Wud. Dalam gumpalan debu pasir dan dentingan suara pedang. Ali bertarung satu lawan satu. Rasulullah SAW bahkan bersabda: “Manifestasi seluruh iman sedang berhadapan dengan manifestasi seluruh kekufuran”.[7]
Dan teriakan takbir menjadi pertanda, bahwa Ali menyudahinya dengan kemenangan. Kerja keras Ali berbuah. Kemenangan di raih pasukan Islam tanpa ada benturan kedua pasukan. Tidak ada pertumpahan darah. kegemilangan ini, membuat Rasulullah SAW pada sebuah kesempatan : “Peperangan Ali dengan ‘Amr lebih utama dari amalan umatku hingga hari kiamat kelak”.
Seluruh peperangan Rasulullah diikuti oleh Ali, kecuali satu di Perang Tabuk. Rasulullah memintanya menetap di Mekkah untuk menjaga stabilitas wilayah. Sebab Rasulullah mengetahui, ada upaya busuk dari kaum munafiq untuk melemahkan Mekkah dari dalam saat Rasulullah keluar memimpin perang TAbuk. Kehadiran Ali di Mekkah, meski seorang diri, telah berhasil memporakporandakan rencana buruk itu. Nyali mereka ciut, mengetahui ada Ali di tengah-tengah mereka.
Perubahan drastis ditunjukkan Ali setelah Rasulullah wafat. Ia lebih suka menyepi, bergelut dengan ilmu, mengajarkan Islam kepada murid-muridnya. Di fase inilah, Ali menjadi sosok dirinya yang lain, yaitu seorang pemikir. Keperkasaannya yang melegenda telah diubahnya menjadi sosok yang identik dengan ilmu. Ali benar-benar terinspirasi oleh kata-kata Rasulullah, "jika aku ini adalah kota ilmu, maka Ali adalah pintu gerbangnya". Dari ahli pedang menjadi ahli kalam (pena). Ali begitu tenggelam didalamnya, hingga kemudian ia 'terbangun' kembali ke gelanggang untuk menyelesaikan 'benang ruwet', sebuah nokta merah dalam sejarah Islam. Sebuah fase di mana sahabat harus bertempur melawan sahabat.
B.       Strategi Ali Bin Abi Thalib dalam kepemimpinan
Diantara strategi Ali Bin Abi Thalib dalam menegakkan kekhalifaan adalah memeranig Khawarij. Untuk kepentingan agama dan negara, Ali Bin Abi Thali juga menggukan potensi dalam usaha pengembangan Islam, baik perkembangan dalam bidang Sosial, politik, Militer, dan Ilmu Pengetahuan. Berikut ini akan diuraikan tentang strategi tersebut;

1.    Ali Bin Abi Thalib Memerangi Khawarij
Semula orang-orang yang kelak dikenal dengan khawarij ini turut
membaiat ‘Ali ra., dan ‘Ali ra. tidak menindak mereka secara langsung mengingat kondisi umat belumlah kembali stabil, di samping para pembuat makar yang berjumlah ribuan itu pun telah berbaur di Kota Madinah, hingga dapat mempengaruhi hamba sahaya dan orang-orang Badui. Jika Ali ra. bersegera mengambil tindakan, maka bisa dipastikan akan terjadi pertumpahan darah dan fitnah yang tidak kunjung habisnya. Karenanya Ali ra, memilih untuk menunggu waktu yang tepat, setelah kondisi keamanan kembali stabil, untuk menyelesaikan persoalan yang ada dengan menegakkan qishash. Kaum khawarij sendiri pada akhirnya menyempal dari Pasukan Ali ra. setelah beliau melakukan tahkim dengan Muawiyah ra. setelah beberapa saat terjadi perbedaan ijtihad di antara mereka berdua ra. (Ali ra. dan Muawiyah ra.). Orang-orang khawarij menolak tahkim seraya mengumandangkan slogan:
Tidak ada hukum kecuali hukum Allah. Tidak boleh menggantikan hukum Allah dengan hukum manusia. Demi Allah! Allah telah menghukum penzalim dengan jalan diperangi sehingga kembali ke jalan Allah.””Ungkapan mereka: ‘Tiada ada hukum kecuali hukum Allah, dikomentari oleh Ali: “Ungkapan benar, tetapi disalahpahami. Pada akhirnya ‘Ali ra. memerangi khawarij tsb., dan berhasil menghancurkan mereka di Nahrawan, di mana hampir seluruh dari orang Khawarij tsb berhasil dibunuh, sedangkan yang terbunuh di pihak Ali ra. hanya 9 orang saja.[8]
2.        Upaya Pengembangan dalam Bidang Pemerintahan
Situasi ummat Islam pada masa pemerintahan Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib sudah sangat jauh berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Ummat Islam pada masa pemerintahan Abu Bakar dan Umar Ibnu Khattab masih bersatu, mereka memiliki banyak tugas yang harus diselesaikannya, seperti tugas melakukan perluasan wilayah Islam dan sebagainya. Selain itu, kehidupan masyarakat Islam masih sangat sederhana karena belum banyak terpengaruh oleh kemewahan duniawi, kekayaan dan kedudukan.[9]
Namun pada masa pemerintahan Khalifah Usman Ibnu Affan keadaan mulai berubah. Perjuangan pun sudah mulai terpengaruh oleh hal-hal yang bersifat duniawi. Oleh karena itu, beban yang harus dipikul oleh penguasa berikutnya semakin berat. Usaha-usaha Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib dalam mengatasi persoalan tersebut tetap dilakukannya, meskipun ia mendapat tantangan yang sangat luar biasa. Semua itu bertujuan agar masyarakat merasa aman, tentram dan sejahtera. Usaha-usaha yang dilakukannya diantaranya :
a.    Mengganti Para Gubernur yang diangkat Khalifah Usman Ibnu Affan
Semua gubernur yang diangkat oleh Khalifah Usman Ibnu Affan terpaksa diganti, karena banyak masyarakat yang tidak senang. Menurut pengamatan Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib, para gubernur inilah yang menyebabkan timbulnya berbagai gerakan pemberontakan terhadap pemerintahan Khalifah Usman Ibnu Affan. Mereka melakukan itu karena Khalifah Usman pada paruh kedua masa kepemimpinannya tidak mampu lagi melakukan kontrol terhadap para penguasa yang berada dibawah pemerintahannya. Hal itu disebabkan karena usianya yang sudah lanjut usia, selain para gubernur sudah tidak lagi banyak yang memiliki idealisme untuk memperjuangkan dan mengembangkan Islam. Pemberontakan ini pada akhirnya membuat sengsara banyak rakyat, sehingga rakyatpun tidak suka terhadap mereka. Berdasarkan pengamatan inilah kemudian Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib mencopot mereka. Adapun para gubernur yang diangkat Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib sebagai pengganti gubernur lama yaitu; Sahl Ibnu Hanif sebagai gubernur Syria, Sahl Ibnu Hanif sebagai gubernur Syriah, Usman Ibnu Affan sebagai gubernur Basrah, Umrah Ibnu Syihab sebagai gubernur kuffah, Qais Ibnu Sa'ad sebagai gubernur Mesir, Ubaidah Ibnu Abbas sebagai gubernur Yaman.
b.    Menarik kembali tanah milik negara
Pada masa pemerintahan Khalifah Usman Ibnu Affan banyak para kerabatnya yang diberikan fasilitas dalam berbagai bidang, sehingga banyak diantara mereka yang kemudian merongrong pemerintahan Khalifah Usman Ibnu Affan dan harta kekayaan negara. Oleh karena itu, ketika Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib menjadi Khalifah, ia memiliki tanggung jawab yang besar untuk menyelesaikannya. Beliau berusaha menarik kembali semua tanah pemberian Usman Ibnu Affan kepada keluarganya untuk dijadikan milik negara.
Usaha itu bukan tidak mendapat tantangan. ketika Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib banyak mendapat perlawanan dari para penguasa dan kerabat mantan Khalifah Usman Ibnu Affan. Salah seorang yang tegas menentang ketika Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib adalah Muawiyah Ibnu Abi Sufyan. Karena Muawiyah sendiri telah terancam kedudukannya sebagai gubernur Syria. Untuk menghambat gerakan Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib, Muawiyah menghasut kepada para sahabat lain supaya menentang rencana Khalifah, selain menghasut para sahabat Muawiyah juga mengajak kerjasama dengan para mantan gubernur yang dicopot oleh Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib. Kemudian terjadi perang Jamal, perang Shiffin dan sebagainya.
Semua tindakan Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib semata bertujuan untuk membersihkan praktek Kolusi, korupsi dan Nepotisme didalam pemerintahannya. Tapi menurut sebagian masyarakat kalo situasi pada saat itu kurang tepat untuk melakukan hal itu, yang akhirnya Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib pun meninggal ditangan orang-orang yang tidak menyukainya. Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib bekerja keras sebagai Khalifah sampai akhir hayatnya, dan beliau menjadi orang kedua yang berpengaruh setelah Nabi Muhammad Saw.
3.        Perkembangan di Bidang Politik Militer
Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib memiliki kelebihan, seperti kecerdasan, ketelitian, ketegasan keberanian dan sebagainya. Karenanya ketika ia terpilih sebagai Khalifah, jiwa dan semangat itu masih membara didalam dirinya. Banyak usaha yang dilakukan, termasuk bagaimana merumuskan sebuah kebijakan untuk kepentingan negara, agama dan umat Islam kemasa depan yang lebih cemerlang. Selain itu, dia juga terkenal sebagai pahlawan yang gagah berani, penasihat yang bijaksana, penasihat hukum yang ulung, dan pemegang teguh tradisi, seorang sahabat sejati, dan seorang kawan yang dermawan.
Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib sejak masa mudanya amat terkenal dengan sikap dan sifat keberaniannya, baik dalam keadaan damai mupun saat kritis. Beliau amat tahu medan dan tipu daya musuh, ini kelihatan sekali pada saat perang Shiffin. Dalam perang itu Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib mengetahui benar bahwa siasat yang dibuat Muawiyah Ibnu Abi Sufyan hanya untuk memperdaya kekuatan Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib menolak ajakan damai, karena dia sangat mengetahui bahwa Muawiyah adalah orang yang sangat licik. Namun para sahabatnya mendesak agar menerima tawaran perdamaian itu. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan istilah "Tahkim" di Daumatul Jandal pada tahun 34 Hijriyah. Peristiwa itu sebenarnya merupakan bukti kelemahan dalam system pertahanan pada masa pemerintahan Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib. Usaha Khalifah terus mendapat tantangan dan selalu dikalahkan oleh kelompok orang yang tidak senang terhadap kepemimpinannya.
Karena peristiwa "Tahkim" itu, timbullah tiga golongan dikalangan umat Islam, yaitu Kelompok Khawarij, Kelompok Murjiah dan Kelompok Syi'ah (pengikut Ali). Ketiga kelompok itu yang pada masa berikutnya merupakan golongan yang sangat kuat dan yang mewarnai perkembangan pemikiran dalam Islam.
4.    Perkembangan di Bidang Ilmu Bahasa
Pada masa Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib, wilayah kekuasaan Islam telah sampai Sungai Efrat, Tigris, dan Amu Dariyah, bahkan sampai ke Indus. Akibat luasnya wilayah kekuasaan Islam dan banyaknya masyarakat yang bukan berasal dari kalangan Arab, banyak ditemukan kesalahan dalam membaca teks Al-Qur'an atau Hadits sebagai sumber hukum Islam.
Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib menganggap bahwa kesalahan itu sangat fatal, terutama bagi orang-orang yang akan mempelajari ajaran islam dari sumber aslinya yang berbahasa Arab. Kemudian Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib memerintahkan Abu Al-Aswad Al-Duali untuk mengarang pokok-pokok Ilmu Nahwu ( Qawaid Nahwiyah ).
Dengan adanya Ilmu Nahwu yang dijadikan sebagai pedoman dasar dalam mempelajari bahasa Al-Qur'an, maka orang-orang yang bukan berasal dari masyarakat Arab akan mendaptkan kemudahan dalam membaca dan memahami sumber ajaran Islam.
5.    Perkembangan di Bidang Pembangunan
Pada masa Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib, terdapat usaha positif yang dilaksanakannya, terutama dalam masalah tata kota. Salah satu kota yang dibangun adalah kota Kuffah.
Semula pembangunan kota Kuffah ini bertujuao politis untuk dijadikan sebagai basis pertahanan kekuatan Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib dari berbagai rongrongan para pembangkang, misalnya Muawiyah Ibnu Abi Sufyan. Akan tetapi, lama kelamaan kota tersebut berkembang menjadi sebuah kota yang sangat ramai dikunjungi bahkan kemudian menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan keagamaan, seperti perkembangan Ilmu Nahwu, Tafsir, Hadits dan sebagainya. [10]
Pembangunan kota Kuffah ini dimaksudkan sebagai salah satu cara Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib mengontrol kekuatan Muawiyah yang sejak semula tidak mau tunduk terhadap perintahnya. Karena letaknya yang tidak begitu jauh dengan pusat pergerakan Muawiya Ibnu Abi Sufyan, maka boleh dibilang kota ini sangat strategis bagi pertahanan Khalifah.

BAB III
PENUTUP
Demikialah makalah ini dibuat, sebagai cacatan penutup. Pemakalah dapat menarik suatu kesimpulan, antara lain:
1.         Ali ra. bekerja keras pada masa kekhilafahannya guna mengembalikan stabilitas dalam tubuh umat setelah sebelumnya Ibnu Saba’dan Sabaiyahnya melancarkan konspirasi dan provokasinya guna menghancurkan Islam dari dalam.
2.         Diantara strategi Khalifah Ali bin Abu Tholib, yang berhasil dikembangkan adalah:
a.         Perkembangan di bidang pembangunan
b.        Perkembangan di bidang bahasa
c.         Perkembangan di bidang militer
d.        Perkembangan di bidang pemerintahan
e.         Memerangi khawarij


Daftar Pustaka
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II), PT Raja Grafindo Persada; Cet.  XXXII, Jakarta 2011
Halim, Arif. Aliran-Aliran Ilmu Kalam dan Kontemporer (Sejarah Pemikiran Perkembangan, PPs. MPI UMI; Makassar 2008
http://majlas.yn.lt/Perkembangan%20Islam%20Masa%20Khalifah%20Ali%20bin%20Abi%20Thalib.html
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam (Sejarah Pemikiran dan Gerakan), PT Bulan Bintang, Cet VI; Jakarta 1988





[1] Dr. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II), PT Raja Grafindo Persada; Cet.  XXXII, Jakarta 2011
[2] http://majlas.yn.lt Perkembangan%20Islam%20Masa%2 0Khalifah Ali%20bin%20Abi Thalib.html, 6 juni 2012
[3] Badri Yatim,  Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II), PT Raja Grafindo Persada; Cet.  XXXII, Jakarta 2011, h.

[4] http://majlas.yn.lt/Perkembangan%20Islam%20Masa%20Khalifah%20Ali%20bin%20Abi%20Thalib.html
[7] http://majlas.yn.lt/ perkembanga Islam masa Khalifah Ali bin Abu Tholib. Mei 2012

[8] http://alkamilok.wordpress.com/2008/09/16/ringkasan-keutamaan-ali-bin-abi-thalib/
[9] http://majlas.yn.lt/ perkembanga Islam masa Khalifah Ali bin Abu Tholib. Mei 2012
[10] http://majlas.yn.lt/ perkembanga Islam masa Khalifah Ali bin Abu Tholib. Mei 2012

Comments

Popular posts from this blog

Kedudukan Ar-ra'yu sebagai Landasan Hukum Islam

Referensi Pada dasarnya umat Islam yang beriman Kepada Allah swt. Meyakini bahwa Sumber utama Ajaran Islam yaitu Alquran dan Hadis sudah sempurna. Firman Allah dalam Alquran sudah sempurna membahas aturan-aturan, hukum, ilmu pengetahuan (filsafat), kisah, ushul fiqh dan lain-lain. Begitu juga Hadis Rasulullah yang salah satu sifatnya menjadi penjelasan ayat-ayat dalam Alquran. Posisi Hadis adalah penjelas dan sumber kedua setelah Alquran.

Dasar-dasar Pendidikan Islam

DASAR-DASAR PENDIDIKAN ISLAM (Tinjauan al-Qur'an dan Hadis) Oleh : Kelompok 2 A.    Pendahuluan Islam mempunyai berbagai macam aspek, di antaranya adalah pendidikan (Islam). Pendidikan Islam bermula sejak nabi Muhammad Saw, menyampaikan ajaran Islam kepada umatnya. [1]   Pendidikan adalah proses atau upaya-upaya menuju pencerdasan generasi, sehingga menjadi manusia dalam fitrahnya. Itu artinya bahwa pendidikan merupakan conditio sine quanon yang harus dilakukan pada setiap masa. Berhenti dari gerakan pendidikan berarti   lonceng kematian (baca; kemunduran atau keterbelakangan) telah berbunyi dalam masyarakat atau negara.