Skip to main content

MASYARAKAT MADANI DALAM ALQURAN


(Kajian Tafsir Tematik dengan Multi Teknik Interpretasi)

I.  PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Term Civil Society atau “Masyarakat Madani”, merupakan wacana dan fokus utama bagi masyarakat dunia sampai saat ini. Apalagi di abad ke-21 ini, kebutuhan dan tuntutan atas kehadiran bangunan masyarakat madani, bersamaan dengan maraknya issu demokratisasi dan HAM. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah, sejauh manakah Islam merespon masyarakat tersebut. Jawabannya adalah bahwa Islam yang ajaran dasarnya Alquran, adalah shālih li kulli zamān wa makān (ajaran Islam senantiasa relevan dengan situasi dan kondisi). Karena demikian halnya, maka jelas bahwa Alquran memiliki konsep tersendiri tentang masyarakat madani.
Pluralisme masyarakat menurut perspektif Alquran, harus didasarkan pada prinsip keutamaan dan kekhasan, serta harus dibina dengan sikap toleran (tasamuh).[1] Berkenaan ini, sekurang-kurangnya ada dua ilustrasi yang patut dikemukakan terkait dengan masyarakat madani. Pertama, tentang persamaan hak bagi masyarakat (nadhāriyah al-mushawah). Persamaan ini berlaku untuk seluruh masyarakat tanpa melihat perbedaan masing-masing-masing individu, kelompok, etnis, warna kulit, kedudukan, dan keturunan. Kedua, pengakuan atas eksistensi masyarakat yang terdiri atas bangsa-bangsa dan suku-suku. Tujuan keberadaannya (mereka) ini, adalah bukan untuk berbangga-banggaan, apalagi melecehkan pihak lain, tetapi untuk saling mengenali satu sama lain. Sehingga, pada gilirannya hal itu dapat mendorong terciptanya kondisi di mana satu sama lain saling menghormati dan saling tolong menolong.
Secara jelas dapat dipahami bahwa ilustrasi tentang masyarakat madani sebagaimana yang disinggung di atas, terangkum dalam ayat-ayat Alquran. Namun untuk mengetahui konsepnya secara komprehensif, maka diperlukan kajian tafsir secara tematik.[2] Di sisi lain, tema mayarakat madani menurut Alquran dapat dipahami secara utuh dan menyeluruh bilamana tema tersebut, dijabarkan dalam bentuk interpretasi ayat secara akurat dengan menggunakan teknik-teknik interpretasi.[3]
B. Rumusan Masalah
Dengan merujuk pada uraian singkat dari latar belakang yang telah dikemukakan, kelihatan bahwa interpretasi tentang masyarakat madani sangat menarik untuk dikaji berdasarkan tinjauan tafsir tematik dengan menggunakan multi tekni interpretasi. Sekaitan dengan ini, maka permasalahan yang dijadikan obyek pembahasan adalah bagaimana pengertian masyarakat madani, dan bagaimana konsep masyarakat madani dalam perspektif Alquran  ?

II.    PENGERTIAN MASYARAKAT MADANI

Untuk memberikan rumusan pengertian yang akurat tentang “masyarakat madani”, maka terlebih dahulu dikemukakan batasan pengertian “masyarakat” dan pengertian “madani” itu sendiri.
1. Pengertian Masyarakat
Pengertian masyarakat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama.[4] Kata masyarakat tersebut, berasal dari bahasa Arab yaitu syarikat yang berarti golongan atau kumpulan.[5] Dalam al-Munjid dikatakan bahwa al-syarikat adalah “الإختلاط[6] (bercampur). Selain kata ini, istilah masyarakat dalam bahasa Arab, juga biasa disebut dengan al-mujtama’.[7] Louis Ma’luf menjelaskan arti al-mujtama’ adalah مجازا على جماعة من الناس خاضعين لقوانين ونظم عامة [8] (suatu kumpulan dari sejumlah manusia yang tunduk pada undang-undang dan peraturan umum yang berlaku).
Sedangkan dalam bahasa Inggeris, kata masyarakat tersebut diistilahkan dengan society dan atau community. Dalam hal ini, Abdul Syani menjelaskan bahwa bahwa masyarakat sebagai community dapat dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, memandang community sebagai unsur statis, artinya ia terbentuk dalam suatu wadah/tempat dengan batas-batas tertentu, maka ia menunjukkan bagian dari kesatuan-kesatuan masyarakat sehingga ia dapat disebut masyarakat setempat. Misalnya kampung, dusun atau kota-kota kecil. Kedua, community dipandang sebagai unsur yang dinamis, artinya menyangkut suatu proses yang terbentuk melalui faktor psikologis dan hubungan antar manusia, maka di dalamnya terkandung unsur kepentingan, keinginan atau tujuan yang sifatnya fungsional. Misalnya, masyarakat pegawai, mayarakat mahasiswa.[9]
Secara terminologi, kata masyarakat menurut Kuntjaraningrat adalah kesatuan hidup dari makhluk-makhluk manusia yang terikat oleh suatu sistem adat istiadat yang tertentu.[10] Sedangkan menurut M. Quraish Shihab bahwa masyarakat adalah kumpulan sekian banyak individu kecil atau besar yang terikat oleh satuan, adat, ritus atau hukum, dan hidup bersama.[11]
Selanjutnya, Anderson dan Parker menyatakan sebagaimana yang dikutip oleh Dr. Phil Astrid. S Susanto bahwa ciri dari masyarakat adalah : adanya sejumlah orang; yang tinggal dalam suatu daerah tertentu (ikatan geografis); mengadakan ataupun mempunyai hubungan satu sama lain yang tetap/tertentu; sebagai akibat hubungan ini membentuk suatu sistem hubungan antar manusia; mereka terikat karena memiliki kepentingan bersama; mempunyai tujuan bersama dan bekerja sama; mengadakan ikatan/kesatuan berdasarkan unsur-unsur sebelumnya; berdasarkan pengalaman ini, maka akhirnya mereka mempunyai perasaan solidaritas; sadar akan interdepedensi satu sama lain; berdasarkan sistem yang terbentuk dengan sendirinya membentuk norma-norma; berdasarkan unsur-unsur di atas akhirnya membentuk kebudayaan bersama hubungan antar manusia.[12]
Berdasar pada pengertian dan ciri masyarakat yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan bahwa masyarakat adalah kelompok manusia yang saling berinteraksi, ada tujuan dan kepentingan bersama dengan norma-norma yang ada dan dengan kebudayaan bersama.
2.  Pengertian Madani
Kata madani, menurut hasil analisis morfologis yang dikemukakan oleh Prof. Dr. H. Abd. Muin Salim, adalah berasal dari kata dāna yang menurutnya memiliki dua pola pengembangan, yaitu dain (mengambil utang) dan dīn (ber-agama). Antara makna kedua pola ini (utang dan agama) terdapat hubungan yang erat.[13] Utang adalah sesuatu yang harus dibayar, dan agama pada hakekatnya adalah tanggung jawab yang harus ditunaikan umat manusia dalam wujud pengabdiannya kepada Sang Pencipta.
Kata dāna yang disebutkan di atas, adalah sesungguhnya berasal dari kata dayana, yadīnu kemudian dibaca dāna, yadīnu.[14] Dari sini, kemudian menjadi madīnah sebagai ism makān yang merupakan perubahan dari kata madyan yang dalam Alquran  disebut sebagai kota tempat nabi Syu’aib.[15] Dari kata madyan dan madīnah melalui penyesuaian fonem terbentuklah kata madani sebagai nisbah dari kata madīnah, yakni kota ideal yang dibangun oleh Nabi saw. Sehingga, dapat dikatakan secara esensial kehidupan madani ditandai dengan adanya supremasi hukum dalam kehidupan dan tatanan masyarakat.[16]
Dengan berdasar pada pengertian “masyarakat” dan “madani” yang telah diuraikan maka istilah “masyarakat madinah” dapat diartikan sebagai kumpulan manusia dalam satu tempat (daerah/wilayah) di mereka hidup secara ideal dan taat pada aturan-aturan hukum, serta tatanan kemasyarakatan yang telah di-tetapkan. Dalam konsep umum, masyarakat madani tersebut sering disebut dengan istilah civil society (masyarakat sipil) atau al-mujtama’ al-madani, yang pengertiannya selalu mengacu pada “pola hidup masyarakat yang berkeadilan, dan berperadaban”.
Dalam istilah Alquran, kehidupan masyarakat madani tersebut dikonteks-kan dengan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafūr yang secara harfiyah diarti-kan negeri yang baik dalam keridhaan Allah. Istilah yang digunakan Alquran sejalan dengan makna masyarakat yang ideal, dan masyarakat yang ideal itu berada dalam ampunan dan keridahan-Nya. “Masyarakat ideal” inilah yang dimaksud dengan “masyarakat madani”.

II. KONSEP MASYARAKAT MADANI PERSPEKTIF ALQURAN

Dalam upaya menemukan konsep masyarakat madani dalam perspektif Alquran, maka masalah ini akan dikaji berdasarkan metode tafsir tematik (manhaj tafsīr bi al-mawdhu’iy), dengan cara menghimpun ayat-ayat Alquran  yang mempunyai maksud yang sama dalam arti sama-sama membicarakan satu topik masalah. Teknik interpretasi yang digunakan adalah menganalisis ayat-ayat tersebut dan menyusunnya berdasarkan kronologi, serta sebab turunnya ayat-ayat tersebut. Teknik penafsiran seperti ini, disebut dengan teknik interpretasi sosio historis; kemudian ayat-ayat tentan masyarakat madani tersebut dijelaskan berdasarkan konteks ayat atau hadis (teknik interpretasi tekstual) dan menguraikan keterkaitannya dengan berbagai masalah (teknik interpretasi sistemik), lalu mengambil kesimpulan. Sekaitan dengan ini, maka kajian tentang masyarakat madani yang penulis lakukan, terformulasi dan tersistametis sebagai berikut :
A. Himpunan Ayat-ayat tentang Masyarakat Madani
Berdasarkan hasil telaahan penulis, ternyata term “masyarakat madani”      (المجتمع المدنى) memang tidak ditemukan dalam Alquran. Namun, ada dua kata kunci yang bisa menghampirkan pada konsep masyarakat madani itu sendiri, yakni term ummah dan term madīnah. Kedua term ini, menjadi nilai dasar dan nilai-nilai instrumental bagi terbentuknya masyarakat madani. Kata ummah misalnya bisa dirangkaikan dengan sifat dan kualitas tertentu, seperti ummah wasathan, kaheru ummah dan ummah muqtashidah yang merupakan pranata sosial utama yang dibangun oleh Nabi saw, segera setelah hijrah ke Madinah.
Term ummah dalam bahasa Arab menunjukkan kepada arti tentang komunitas manusia, sedangkan term madīnah adalah sebagai tempat di mana komunitas manusia itu berada. Dengan arti seperti ini, dan kaitannya dengan metode tafsir tematik yang dijadikan acuan, kelihatan bahwa term-term ummah dalam Alquran lebih tepat untuk dihimpun, kemudian dikaitkan dengan term madīnah untuk mendapatkan konsep masyarakat madani dari Alquran .
Melalui teknik interpretasi linguistik, diketahui bahwa term أمة (ummah) yang berbentuk tunggal, dan أمم (umam) adalah bentuk jamaknya berasal dari akar kata أم (amma) يؤم (yaummu), أما (ammam) artinya; menjadi, ikutan dan gerakan.[17] Alquran  menyebut kata امة (ummah) sebanyak 50 kali, sedang kata أمم (umam) sebanyak 13 kali.[18] Penggunaan dua kata tersebut dalam Alquran tidak menunjuk kata tunggal. أمة (ummah) adalah konsep komprehensip yang mengandung sejumlah makna antara lain: Pertama, bermakna binatang yang ada di bumi atau burung yang terbang dengan dua sayapnya sebagaimana dalam QS. al-An’am (6): 38 yakni; “وَلَا طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلَّا أُمَمٌ أَمْثَالُكُمْ”. Kedua, bermakna makhluk jin dan manusia, misalnya QS. al-Ahqaf (46) : 18, yakni; “فِي أُمَمٍ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِمْ مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِKetiga, bermakna imam (pemipin), misalnya QS. al-Nahl (16) : 120, yakni “إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًاKeempat, bermakna agama, misalnya dalam QS. al-Anbiya (21):92, yakni  إِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ.
Penggunaan kata ummah/umam dalam Alquran  yang khusus ditujukan kepada manusia juga mengandung beberapa pengertian antara lain: Pertama, bermakna setiap generasi yang kepada mereka diutus seorang Nabi atau Rasul, misalnya umat Nabi Nuh, umat Nabi Ibrahim, umat Nabi Musa, dan umat Nabi Muhammad saw, misalnya dalam QS. al-Nahl (16); 36, yakni “وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا”. Kedua, bermakna golongan manusia yang menganut agama tertentu, misalnya umat Yahudi, umat Nasrani dan umat Islam, misalnya dalam QS. Ali Imran (3) : 110, yakni “كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ ... وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ .... Ketiga, bermakna seluruh manusia adalah umat yang satu, misalnya dalam QS. Al-Baqarah (2) : 213, yakni “كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةًKeempat, bermakna bagian dari masyarakat yang mengemban fungsi tertentu yakni menyelenggarakan keutamaan dengan menegakkan yang baik dan mencegeh yang mungkar, misalnya dalam QS. Ali Imran (3) : 104, yakni “وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ”.
Dengan mencermati ayat-ayat yang telah dihimpun di atas, diperoleh kesimpulan bahwa terminologi umat dalam Alquran  menunjukkan berbagai komunitas tertentu, yakni; komunitas binatang, komunitas jin dan manusia, komunitas keagamaan tertentu, yaitu komunitas yang mempunyai keyakinan keagamaan yang sama. Secara umum, seperti komunitas yang mempunyai basis solidaritas tertentu atau dasar komitmen keagamaan, etnis dan moralitas. Demikian, interpretasi term-term ummah yang penulis temukan dalam himpunan ayat-ayat Alquran .
B. Masyarakat Madani dalam Tinjauan Teknik Interpretasi Sosio Historis dan
Teknik Interpretasi Sistemik
Dari ayat-ayat Alquran  yang di dalamnya terdapat term أمة (ummah) sebagaimana yang telah diidentifikasi, terklasifikasi atas dua periodesasi ber-dasarkan kronologi pewahyuannya, yakni makkiyah dan madaniyyah.
1.  Ayat-ayat Makkiyah
Berdasarkan telaahan penulis, ditemukan indikasi bahwa bahwa ayat-ayat tentang “أمة sebagian besar telah turun pada periode Mekkah (terutama akhir periode). Hampir semua kata أمة (ummah) yang turun di Mekkah itu menunjuk pada arti bangsa, bagian dari bangsa atau generasi dalam sejarah. Rumpun ayat yang pertama kali turun adalah yang terdapat dalam QS. al A’raf (7) : 34, 38, 159, 160, 164, 168, dan 181. Ayat-ayat ini menurut data yang penulis temukan dari kitab Mabāhiś al-Qur’ān karya Mannā’ al-Qaththān diturunkan para periode Mekkah.[19] Namun, penulis tidak menemukan data lebih lanjut mengenai sabab al-nuzul ayat-ayat ini.[20] Sekaitan dengan ini, al-Wāhidi memang menyatakan bahwa tidak semua ayat memiliki sabab al-nuzul, oleh karena terkadang wahyu datang secara tiba-tiba tanpa sebab, ditambah lagi dengan bermacam-macamnya cara Nabi saw menerima wahyu.[21]
Walaupun ayat-ayat periode makkiyah ini, tidak ditemukan sabab nuzul-nya, namun antara satu ayat dengan ayat yang lainnya memiliki aspek-aspek munāsabah, yakni keterkaitan kandungan yang terangkai dan sistemik. Bermula dari QS. al-A’raf (7):34, yakni ;
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ
Terjemahannya :
Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.[22]
Ayat tersebut kebanyakan menafsirkan dengan “batas waktu” seperti halnya dengan mufasir Prof. Dr. H. M. Quraish Shihab mengisyaratkan bahwa “ajal” yang dimaksudkan adalah masa keruntuhan dan kehancuran “umat” atau “masyarakat manusia”,[23] dan kebenaran dari ayat tersebut dapat disaksikan dari sejarah bahwa bangsa-bangsa kuno seperti; Babilonia, Yunani, Mesir, Romawi, Persia dan kerajaan-kerajaan yang diperintah oleh berbagai dinasti yang lenyap dari peta bumi politik dan peradaban.[24] Ayat 34 ini, dimaksudkan sebagai berita awal tentang akan munculnya suatu masyarakat baru, yang pada waktu itu belum bisa dibayangkan oleh suku-suku bangsa Arab yang boleh dikata tidak berpemerintahan, maka sebagai munāsabah-nya dapat ditemukan pada ayat 35 yang merupakan ajakan pada pembaharuan (ishlah) yakni ;
يَابَنِي ءَادَمَ إِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ رُسُلٌ مِنْكُمْ يَقُصُّونَ عَلَيْكُمْ ءَايَاتِي فَمَنِ اتَّقَى وَأَصْلَحَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Terjemahnya
Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.
Ayat di atas merupakan imbauan kepada suku-suku nomaden dan suku elit Quraisy di Mekkah menyambut ajaran untuk menciptakan keamanan dan kebahagiaan. Alquran  menyampaikan berbagai gejala terdahulu dalam sejarah, contoh, bangsa Israil yang telah memiliki sejarah panjang dan tradisi bermasyarakat yang mengakar dan mengembangkan kebudayaan hukum yang tinggi dan pernah memiliki sistem politik yang kuat. Munāsabah berikutnya, adalah terdapat pada ayat 159 yang dimana ayat tersebut mengantar pada kemungkinan terbentuknya suatu kelompok yang memimpin yang pernah dibentuk Nabi Musa. Berita tentang gejala ini diulang dalam konteks yang lebih umum yaitu pada ayat 181, yakni ;
وَمِمَّنْ خَلَقْنَا أُمَّةٌ يَهْدُونَ بِالْحَقِّ وَبِهِ يَعْدِلُونَ
Terjemahnya :
Dan di antara orang-orang yang Kami ciptakan ada umat yang memberi petunjuk dengan hak, dan dengan yang hak itu (pula) mereka menjalankan keadilan.
Ayat di atas adalah rintisan untuk menghimpun kesepakatan, bahwa kelak perlu ada suatu lembaga yang berfungsi menjalankan keadilan berdasar pada prinsip-prinsip kebenaran. Itulah yang disebut pada ayat sebelumnya (ayat 157), yakni “يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَاsebagai ayat yang menginformasikan akan ada kelompok baru di sekitar Nabi saw. Menurut Prof. Dr. Quraish Shibab bahwa ayat ini juga mempunyai latar belakang salah satu tujuan kedatangan Nabi Muhammad saw, sebagai anugerah kepada Bani Israil.[25] Diketahui bahwa sistem hukum bangsa Bani Israil sangat memberatkan pada umat, misalnya hukum qishas tanpa kesempatan untuk membayar diyah, membuang atau menggunting kain yang terkena najis dan melakukan taubat dengan bunuh diri.[26] Karena itu masyarakat harus memberikan legitimasi terhadap risalah tersebut.
Selanjutnya, ayat yang masih menggunakan term ummah dan turun dalam periode Mekkah adalah yang tercantum dalam QS. Fāthir (35): 24,[27] yakni;
إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ بِالْحَقِّ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَإِنْ مِنْ أُمَّةٍ إِلَّا خَلَا فِيهَا نَذِيرٌ
Terjemahnya :
Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Dan tidak ada suatu umatpun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan.[28]
Ayat yang disebutkan di atas, juga tidak memiliki sabab al-nuzul.[29] Term ummah dalam ayat di atas dikaitkan (munāsabah) dengan seorang rasul atau nabi yang membawa berita gemira dan memberi peringatan. Umat di sini bisa berarti suatu bangsa atau generasi tertentu, mereka itu bisa menyambut seruan nabi atau bahkan menolak atau mendustakan ajaran baru itu. Karena itu, dari segi bahasa, ummah di sini berkonotasi netral, artinya bukan mesti di-munasabah-kan (dikait-kan) dengan kepercayaan umat tersebut terhadap suatu ajaran atau agama tertentu, misalnya umat Yahudi, umat Nashrani, sebagaimana dalam QS. Ali Imrān (3): 110 dan ayat-ayat lainnya yang tergolong sebagai ayat periode madaniyyah.
2.  Ayat-ayat Madaniyyah
Ayat yang turun di Madinah dan menggunakan term ummah di antaranya adalah QS. Ali Imran (3): 104, yakni
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Terjemahnya
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.
Ayat di atas, memiliki sabab al-wurud. Dalam Tafsīr Ibn Kasīr dijelaskan bahwa berdasarkan riwayat dari Ahmad, dari Mughīrah, dari Shafwān, dati Azhar, dari Abū Amr, ia berkata; ketika kami berhaji dan tiba di Mekkah dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyān, kami bershalat zhuhur dengan Nabi saw, lalu beliau bersabda: sesungguhnya ahli kitab akan terpecah menjadi beberapa millah (golongan), dan umat ini (Islam) juga terpecah menjadi 73 golongan … maka turunlah ayat tersebut (QS. Ali Imran/:104) sebagai perintah bagi setiap ummah untuk melakukan dakwah, dan sekiranya perpecahan tersebut tidak dihindari, cukuplah ia menjadi rahmat.[30] Bila sabab nuzul ayat ini dicermati, ditemukan konsep bahwa ummah (bangsa-bangsa dan atau masyarakat) akan mengalami perbedaan dan kekhasan tersendiri. Mereka memiliki pandangan yang berbeda antara satu dengan lainnya. Perbedaan-perbedaan itu, dapat dilihat pada aspek munāsabah ayat yang menggunakan term ummah dalam ayat 113-114 di surah yang sama, yakni ;
لَيْسُوا سَوَاءً مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ أُمَّةٌ قَائِمَةٌ يَتْلُونَ ءَايَاتِ اللَّهِ ءَانَاءَ اللَّيْلِ وَهُمْ يَسْجُدُونَ يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَأُولَئِكَ مِنَ الصَّالِحِينَ.
Terjemahnya :
Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang). Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan mereka menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh.[31]
Jelas bahwa ayat di atas secara tegas membedakan antara satu ummah dengan ummah lainnya, namun persamaan juga ada, yakni sama-sama melaksanan ritual keagamaan, yakni mengembang suatu fungsi tertentu dalam upaya menyelenggarakan kebenaran. Term ummah dalam ayat di atas, menunjuk bagian dari masyarakat yang mengemban suatu fungsi tertentu, yaitu; menyelenggarakan keutamaan dengan menegakkan yang baik dan mencegah yang munkar. Dalam salah satu hadis, Nabi saw bersabda :
قَالَ أَبُو سَعِيدٍ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ (رواه مسلم) [32]
Artinya :
Abu Sa’id berkata: saya mendengar Rasulullah saw bersabda : Barang siapa di antara kamu yang melihat kemungkaran, maka hendaknya ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak sanggup (dengan tangannya), maka hendaklah dia mengubahnya dengan lisan. Jika tidak sanggup (dengan lisannya), maka hendaklah dia mengubahnya dengan hatinya. Dan yang demikian ini (dengan hati) adalah selemah-lemah iman.
Keberhasilan dalam menegakkan kebaikan dan keberhasilan dalam mem-berantas kemungkaran pada gilirannya akan terwujud suasana yang aman, damai, sejahterah. Susasana-suasana seperti ini, kesemuanya digambarkan dalam ayat-ayat madaniyah dan tersimpul dalam tiga istilah, yakni masyarakat yang memiliki nilai-nilai keutamaan (khaer ummah),[33] masyarakat yang seimbang (ummah wasath),[34] dan masyarakat moderat (ummah muqtashidah).[35] Dari ketiga istilah inilah, termuat konsep masyarakat madani dan terimplemenasi di Madinah pada zaman Nabi saw.
C. Analisis tentang Konsepsi Masyarakat Madani
Konsep masyarakat madani sebagaimana yang telah ditekankan oleh Alquran , dan telah dirumuskan pada uraian terdahulu adalah masyarakat yang terbaik (khairah ummah), masyarakat yang seimbang (ummatan wasathan), dan masyarakat moderat (ummah muqtashidah). Berikut ini dikutip ayat-ayat yang menggunakan istilah-istilah tersebut :
1.      Khairah ummah dalam QS. Ali Imran (3): 110, yakni ;
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
Terjemahnya :
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
2.      Ummatan wasathan dalam QS. al-Baqarah (2): 143, yakni ;
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
Terjemahnya :
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.

3.      Ummah Muqtashidah dalam QS. al-Maidah (5): 66, yakni ;
وَلَوْ أَنَّهُمْ أَقَامُوا التَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِمْ مِنْ رَبِّهِمْ لَأَكَلُوا مِنْ فَوْقِهِمْ وَمِنْ تَحْتِ أَرْجُلِهِمْ مِنْهُمْ أُمَّةٌ مُقْتَصِدَةٌ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ سَاءَ مَا يَعْمَلُونَ
Terjemahnya :
Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan (Al Qur'an) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka. Di antara mereka ada golongan yang pertengahan. Dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka.
Konsep khairah ummah sebagaimana dalam QS. Ali Imran (3):110, adalah model masyarakat terbaik dan yang ideal, ditugasi untuk mengembang beberapa fungsi profetik, terutama senantiasa menyerukan kebaikan dan mencegah kemungkaran, serta tidak bercerai berai dan berselisih setelah memperoleh keterangan yang jelas. Alquran  memberi petunjuk beberapa mekanisme damai untuk memecahkan problem internal, yaitu metode syūrah (musyawarah),[36] ishlāh (rekonsiliasi),[37] dan berdakwah dengan cara al-hikmah wa al-mujādalah bi allati hiya ahsan (serua dengan kebijaksanaan serta perundingan dengan cara yang lebih baik).[38]
Konsep ummatan wasathan sebagaimana dalam QS. al-Baqarah (2): 143, adalah masyarakat yang seimbang. Masyarakat seimbang adalah posisi di tengah-tengah (wastah), yakni menggabungkan yang terbaik dari segala yang bertentangan. Penempatan posisi tengah itu bukan hanya dengan pernyataan negasi, misalnya, bukan kapitalisme dan bukan pula sosialisme.[39]
Konsep ummah muqtashidah isebagai dalam QS. al-Maidah (5): 66, adalah masyarakat yang moderat, yakni entitas tertentu di kalangan ahli kitab, dan posisi ummah disitu adalah minoritas. Maksudnya, adalah kelompok kecil dalam masyarakat yang tetap setia menebarkan kebaikan dan perbaikan serta meminimalisir kerusakan. Kelihatan bahwa makna ummah muqtashidah ini hampir identik dengan ummah wasath, karena keduanya mengandung makna moderat da ketidakterjebakan pada titik ekstrim. Keduanya juga berfungsi memelhara konsistensi penerapan nilai-nilai utama di tengah pelbagai komunitas sekitar yang telah menyimpang. Bedanya, cakupan ummah muqtashid adalah sub komunitas seagama (Yahudi atau Nashrani), sedangkan ummah wasath adalah komunitas seagama itu sendiri, yakni Islam.
Konsep masyarakat madani yang digambarkan di atas, sungguh telah terpraktik dalam kenegaraan di Madinah yang diplopori oleh Nabi saw. Konsep ini, bermula sesaat setelah hijrahnya Nabi saw dan para sahabatnya yang ditandai dengan adanya Sahifah ay Watsiqah Madīnah atau Madinah Charter yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai “Piagam Madinah”. Item-itemnya berisi statement tentang kemasyarakatan meliputi yang pada intinya adalah :
1.     Asas kebebasan beragama, yakni negara mengakui dan melindungi setiap kelompok untuk beribadah menurut agamanya masing-masing;
2.     Asas persamaan, yakni semua orang mempunyai kedudukan yang sama sebagai anggota masyarakat, wajib saling membantu dan tidak boleh seorang pun diperlakukan secara buruk, bahkan orang yang lemah harus dilindungi dan dibantu;
3.     Asas kebersamaan, yakni semua anggota masyatakat mempunyai hak dan kewajiban yang sama terhadap negara;
4.     Asas keadilan, yakni setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum. Hukum harus ditegakkan, siapapun yang melanggarnya harus terkena hukuman;
5.     Asas perdamaian, yakni warga negara hidup secara berdampingan, tanpa membedakan suku, agama, dan ras (SARA);
6.     Asas musyawarah, yakni semua permasalahan kenegaraan yang pelik mesti dicarikan solusinya melalui dewan syura.
Kelima asas penting “Piagam Madinah” tersebut ditandatangani oleh seluruh komponen masyarakat; Nasrani, Yahudi, Muslim (Ansar-Muhajirin). Masyarakat pendukung “Piagam Madinah” jelas memperlihatkan karakter masyarakat yang majemuk, baik ditinjau dari segi asal keturunan, maupun segi budaya dan agama. Di dalamnya terdapat Arab Muslim, Yahudi dan Arab non Muslim, semuanya bersatu membangun madinah.
III. PENUTUP
Berdasar pada permasalahan yang telah ditetapkan, dan kaitannya dengan uraian-uraian yang telah dipaparkan, maka dapat dirumuskan kesimpulan bahwa Masyarakat madani secara umum adalah sekumpulan orang dalam suatu bangsa atau negara di mana mereka hidup secara ideal dan taat pada aturan-aturan hukum, serta tatanan kemasyarakatan yang telah ditetapkan. Masyarakat seperti  ini sering disebut dengan istilah civil society (masyarakat sipil) atau al-mujtama’ al-madani, yang pengertiannya selalu mengacu pada “pola hidup masyarakat yang tebaik, berkeadilan, dan berperadaban”. Dalam istilah Alquran , kehidupan masyarakat madani tersebut dikontekskan dengan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafūr.
Melalui kajian tafsir tematik dengan menggunakan teknik multi interpretasi, maka dipahami bahwa terminologi masyarakat madani dalam perspektif Alquran, terungkap melalui term ummah pada ayat-ayat makkiyah dan madaniyah yang walaupun tidak semuanya memiliki sabab al-nuzul, namun kesemua ayat tersebut saling berkaitan, sehingga melahirkan nilai-nilai dasar kemasyarakatan (al-mujtama’) dalam arti kumpulan atau komunitas, misalnya; komunitas binatang, komunitas jin dan manusia. Dari nilai-nilai dasar kemasyarakatan ini, maka lahirlah konsep masyarakat madani, yakni masyarakat yang ideal yang teriterpretasi dalam tiga istilah, yakni masyarakat yang utama dan terbaik (khairah ummah), masyarakat yang seimbang (ummatan wasathan), dan masyarakat moderat (ummah muqtashidah). Konsep masyarakat madani seperti yang disebutkan ini lalu diimplementasikan oleh Nabi saw, di masyarakat Madinah yang ditandai dengan adanya Sahifah ay Watsiqah Madīnah atau Madinah Charter, yakni “Piagam Madinah” yang item-itemnya meliputi enam prinsip, yakni asas kebebasan beragama, asas persamaan, asas kebersamaan, asas keadilan, asas perdamaian, dan asas musyawarah
Berdasar pada rumusan kesimpulan di atas, kelihatan bahwa kajian tentang masyarakat madani menurut perspektif Alquran , masih perlu dikembangkan, dan didiskusikan lebih lanjut, sehingga akan diperoleh rumusan konsepsi tentang masyarakat madani yang lebih akurat dan argumentatif untuk diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.[]







DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim
Al-Bāqy, Muhammad Fu’ad ‘Abd.. al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāzh al-Qur’ān al-Karīm (Bairūt: Dār al-Fikr, 1992
Departemen Agama RI, Alquran  dan Terjemahnya. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Alquran , 1992
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet II, Jakarta : Balai Pustaka, 1989
Al-Farmawi, Abd. al-Hayy. al-Bidāyah fī Tafsīr al-Mawdhu’iy diterjemahkan oleh Suryan A. Jamrah dengan judul Metode Tafsir Mawdhuiy; Suatu Pengantar Cet. I; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994
Al-Hasyimiy, Al-Sayyed Ahmad. Jawāihr al-Balāgah fī al-Mah’āniy wa al-bayāni wa al-Badī’iy. Mesir: Dār al-Fikr, 1991
Ibn Kasīr, Abū al-Fidā Ismail. Tafsīr al-Qur’ān al-Azhīm. Semarang: Toha Putra, t.th
Al-Kalili, Asad M.. Kamus Indonesia Arab. Cet. V; Jakarta: Bulan Bintang, 1993
Karni, S. Asrory, Civil Society dan Ummah; Sintesa; Diskursif “Rumah” Demokrasi. Cet. I; jakarta: Logos, 1999.
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi. Cet. V; Jakarta: Aksara Baru, t.th
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Mizan, 1997
Ma’luf, Luwis. al-Munjid fiy al-Lugah. Bairut: Dar al-Masyriq, 1977
Al-Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir. Surabaya: Pustaka Progressif, 1984
Parker dan Anderson, Society its Organization and Operation. Toronto-London- New York; Mostrand co, Inc 1964
Al-Qaththān, Mannā’. Mabāhiś fī ‘Ulū al-Qur’ān. Bairūt: Dār al-Masyūrat al-Ashr al-Hadīś, 1973
Rahardjo, M. Dawam. Ensiklopedi Alquran ; Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci. Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1996
Salim, Abd. Muin. Salim, H. Abd. Muin. “Elaborasi Bahasa Politik Islam dalam Alquran ” dalam Al-Huda; Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Islam, Jakarta: Vol. 1 No. 2, 2002
             .Fiqh Siayasah; Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Alquran. Cet. II; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995.
              . Implementasi Manajemen Rabbani menuju Masyarakat Madani “Makalah”. Ujung Pandang: Panitia Seminar Nasional IAIN Alaudin, 1999.
              . Metodologi Tafsir; Sebuah Rekonstruksi Epistimologis Memantapkan Keberadaan Ilmu Tafsir sebagai Disiplin Ilmu “Orasi Pengukuhan Guru Besar”. Ujungpandang: IAIN Alauddin, 1999
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran , volume 2. Cet III; Jakarta: Lentera Hati, 2005
               . Wawasan Alquran  Tafsir Mandhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Cet VIII, Bandung: Mizan, 1998.
Susanto, Astrid S.  Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Cet I; Bandung; Bina Cipta, 1979
Al-Suyuti, Imām Jalāl al-Dīn. Lubāb al-Nuqul fī Asbāb al-Nuzūl. Bairūt: Dār al-Fikr, 1977
Syani, Abdul. Sosiologi Skematika, Teori dan Terapan. Cet. I; Jakarta:Bumi Aksara, 1994
Ubaidillah, A.. Pendidikan Kewargaan Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani Cet I, Jakarta: IAIN Syahid Jakarta Press, 2000
Umari, Akram Dhiauddin. Madinan Society at The Time of the Propeht; Its Charcteristics and Organization, diterjemahkan oleh Mu’im A. Sirry dengan judul. Masyarakat Madani; Tinjauan Historis Kheiudpan Za,an Nabi saw. Jakarta: Gema Insani Pres, 1999.
Wahid, Hidayat Nur. Mengelolah Masa Transisi Menuju Masyarakat Madani. Cet. I; Ciputat: Fikri, 2004
Al-Wāhidi al-Naysāburi, Abū al-Hasan bin Ali bin Ahmad. Asbāb al-Nuzūl. Jakarta: Dinamika Utama, t.th.




[1]Demikian interpretasi ayat yang terkandung dalam QS. al-Hujurat (49): 13
[2]Prof. Dr. H. Abd. Muin Salim menegaskan bahwa penggunaan metode tafsir tematik sangat relevan dengan kebutuhan masa kini, karena dengan metode tersebut dapat memberikan gambaran yang utuh dari masalah yang dibahas. Metode tematik yang juga diistilahkan dengan metode mawdhu’iy yang dimaksudkannya adalah tidak mengabaikan unsur-unsur metode tahlīliy sepanjang hal itu penting dan menyangkut dengan masalah yang dibahas. Langkah-langkah tafsir mawdhū’iy adalah ; (1) Menentukan masalah yang dibahas; (2) mengadakan penelitian pendahuluan untuk mendapatkan gambaran mengenai konsep dan kerangka teori yang akan dijadikan sebagai acuan; (3) menyusun hipotesis bila diperlukan; (4) menghimpun data yang relavan dengan masalah, baik berupa ayat-ayat Alquran ataupun hadis-hadis Nabi saw serta data lainnya yan terkait; (5) menyusun ayat-ayat menurut tertib turunnya surahnya; (6) menafsirkan kosa kata, frase, klausa dan ayat-ayat dengan teknik tasir; (6) membahas konsep-konsep yang diperoleh dan mengaitkannya kerangka acuan yang dipergunakan; (7) menyusun hasil-hasil penelitian menurut kerangka yang telah disipkan dalam bentuk laporsan hasil penelitian (karya tafsir). Lihat H. Abd. Muin Salim, Metodologi Tafsir; Sebuah Rekonstruksi Epistimologis Memantapkan Keberadaan Ilmu Tafsir sebagai Disiplin Ilmu “Orasi Pengukuhan Guru Besar” (Ujungpandang: IAIN Alauddin, 1999), h. 32-33
[3]Teknik interpretasi yang dimaksud adalah; (1) Teknik Interpretasi Tekstual, yakni ayat-ayat Alquran yang diteliti dan ditafsirkan dengan menggunakan teks-teks Alquran sendiri ataupun hadis Nabi saw; (2)  Teknik Interpretasi Liguistik, yakni ayat-ayat Alquran ditafsirkan dengan menggunakan kaedah-kaedah kebahasaan. Teknik ini mencakup interpretasi dalam bidang semantik etimologis, semantik morfologis, semantik leksikal, semantik gramatikal dan semantik retorikal; (3) Teknik Interpretasi Sistematis, yakni yakni ayat-ayat Alquran ditafsirkan berdasarkan analisis dengan melihat perpautannya dengan dengan ayat-ayat atau bagian-bagian lainnya yang ada disekitarnya; (4) Teknik Interpretasi Sosio Historis, yakni ayat-ayat Alquran ditafsirkan dengan meng-unakan riwayat mengenai kehidupan sosial politik dan kultural bangsa Arab pada saat diturunkan Alquran. Dengan kata lain ayat ditafsirkan dengan menggunakan sebab turunnya ayat; (5) Teknik Interpretasi Teleologis, yakni ayat-ayat Alquran ditafsirkan dengan menggunakan kaidah-kaidah fikih yang pada hakikatnya merupakan rumusan dari filsafat hukum Islam yang secara garis besar menghendaki tercapainya kebahagiaan manusia dengan terwujudnya kesejahteraan dan kedamainan; (6) Teknik Interpretasi Kultural, yakni ayat-ayat  Alquran ditafsirkan dengan menggunakan pengetahuan yang mapan dan beracu pada asumsi bahwa pengetahuan yang benar tidak bertentangan dengan Alquran; (7) Teknik Interpretasi Logis, yakni yakni ayat-ayat Alquran ditafsirkan dengan menggunakan prinsip-prinsip logika dalam memahami kandungan Alquran; (8) Teknik Interpretasi Ganda, yakni ayat-ayat Alquran ditafsirkan dengan menggunakan dua atau lebih teknik interpretasi. Lihat Abd. Muin Salim, Metodologi Tafsir, ibid., h. 33-36. Bandingkan dengan H. Abd. Muin Salim, Fiqh Siayasah; Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Alquran  (Cet. II; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995), h.  23-30.  
[4]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet II, Jakarta : Balai Pustaka, 1989), h. 564.
[5]Ahmad Warson al-Munawwir, Kamus al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progressif, 1984), h. 82. Lihat juga Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 1992) h. 196
[6]Luwis Ma’luf, al-Munjid fiy al-Lugah (Bairut: Dar al-Masyriq, 1977), h. 384
[7]Asad M. AlKalili, Kamus Indonesia Arab (Cet. V; Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 338. Lihat juga Mahmud Yunus, op. cit., h. 91
[8]Luwis Ma’luf, op. cit., h. 902
[9] Lihat Abdul Syani, Sosiologi Skematika, Teori dan Terapan (Cet. I; Jakarta:Bumi Aksara, 1994), h. 30.
[10] Lihat Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi (Cet. V; Jakarta: Aksara Baru, t.th), h. 103.
[11]Quraish Shihab, Wawasan Alquran  Tafsir Mandhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Cet VIII, Bandung: Mizan, 1998), h. 319
[12]Lihat Astrid S. Susanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial (Cet I; Bandung; Bina Cipta, 1979), h. 19. Lebih jelasnya, lihat Parker dan Anderson, Society its Organization and Operation (Toronto-London- New York; Mostrand co, Inc 1964), h. 29
[13]H. Abd. Muin Salim, “Elaborasi Bahasa Politik Islam dalam Alquran ” dalam Al-Huda; Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Islam, Jakarta: Vol. 1 No. 2, 2002, h. 8
[14]Kata kerja dayana, yadīnu ini berat diucapkan dan janggal didengar. Karena itu, dengan tidak mengubah makna, kata kerja asal itu diubah berdasarkan kaedah isytiqāq dengan jalan mengganti huruf (‘ain) fi’il madhi-nya dengan huruf alīf dan bari sukun pada huruf dal () fi’il mudhari’-nya dengan baris kasrah. Dengan demikian, fi’il (kata kerja) dayana, yadīnu menjadi dāna, yadīnu. Al-Sayyed Ahmad al-Hasyimiy, Jawāihr al-Balāgah fī al-Mah’āniy wa al-bayāni wa al-Badī’iy (Mesir: Dār al-Fikr, 1991), h. 7
[15]Lihat QS. al-Qashash (28): 22
[16]Uraian lebih lanjut, lihat H. Abd. Muin Salim, loc. cit. Bandingkan juga dengan Abd. Muin Salim, Implementasi Manajemen Rabbani menuju Masyarakat Madani “Makalah” (Ujung Pandang: Panitia Seminar Nasional IAIN Alaudin, 1999), h. 4
[17]Luwis Ma’luf, op. cit., h. 18
[18]Muhammad Fu’ad ‘Abd. al-Bāqy, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāzh al-Qur’ān al-Karīm (Bairūt: Dār al-Fikr, 1992), h. 102-103. Dari sumber ini, diketahui bahwa kata أمة (ummah) terdapat dalam QS.al-Baqarah: 128, 134, 141, 143, 213; QS. Ali Imran: 104, 110, 113; QS. al-Nisa: 41; QS. al-Maidah: 48, 66; QS. al-An’am: 108. QS.al-A’raf: 34, 38, 159, 164, 181; QS. Yunus; 19, 47, 49; QS. Hud: 8, 118. QS. Yusuf: 45; QS. Arra’d:  30; QS. Al-Hijr:  5; QS. An-Nahl: 36, 84, 89, 92, 93, 120; QS. Al-Anbiya: 92. S. Al-Haj; 34, 67; QS. Qashas; 23, 75; QS. Fatir; 24; QS. Ghofir: 5. QS. Asysyura: 8; QS. Al-Zuhruf: 22, 23, 33; QS. al-Jaziah: 28; Untuk kata أمم (umaة) dalam QS. al-An’am: 38, 42; QS. al A’raf; 28; QS. Hud;  48, 148; QS. al-Rra’du: 30; QS. al-Nahl: 62; QS. al-Ankabut: 18; QS. Fatir: 42. QS. al-sabat; 25;  QS. al-Ahqaf: 18.
[19]Selengkapnya mengenai klasifikasi surah-surah dan ayat-ayat periode Makkiyah dan Madaniyah, lihat Mannā’ al-Qaththān, Mabāhiś fī ‘Ulū al-Qur’ān (Bairūt: Dār al-Masyūrat al-Ashr al-Hadīś, 1973), h. 54-55.
[20]Sumber-sumber yang penulis jadikan rujukan, namun tidak disebutkan sabab nuzul ayat-ayat tersebut di atas adalah (1) Imām Jalāl al-Dīn al-Suyuti, Lubāb al-Nuqul fī Asbāb al-Nuzūl (Bairūt: Dār al-Fikr, 1977), h. 209-213; (2) Abū al-Hasan bin Ali bin Ahmad al-Wāhidi al-Naysāburi, Asbāb al-Nuzūl (Jakarta: Dinamika Utama, t.th), h. 152-156; (3) Abū al-Fidā Ismail bin Kasīr, Tafsīr al-Qur’ān al-Azhīm (Semarang: Toha Putra, t.th), h. 211-217
[21]Demikian pernyataan al-Wahidi, lihat Abū al-Hasan bin Ali bin Ahmad al-Wāhidi al-naysāburi, ibid., h. 71
[22]Departemen Agama RI, Alquran  dan Terjemahnya (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Alquran , 1992), h. 226
[23]Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran , volume 2 (Cet III; Jakarta: Lentera Hati, 2005), h. 84-85
[24]M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Alquran ; Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci (Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1996), h. 487
[25]Lihat Quraish Shihab. op. cit, h. 273
[26]Lihat Dawan Raharjo, op.cit, h. 489
[27]Mannā al-Qaththān, loc. cit.
[28]Departemen Agama RI, op. cit., h. 699
[29]Lihat dan periksa ulang Imām Jalāl al-Dīn al-Suyuti, op. cit., h. 403-407. Lihat juga Abū al-Hasan bin Ali bin Ahmad al-Wāhidi al-Naysāburi, op. cit., h.316-317
[30]Lihat Abū al-Fidā Ismail bin Kaśīr, op. cit., juz I; h. 390, teks aslinya adalah :
... قال الإمام احمد، حدثنا أبوا المغيرة حدثنا صفوان، حدثى أزهر عن أبى عامر قال : حججنا مع معاوية بن أبى سفيان فلما قدمنا مكة قام حين قلى صلاة الظهر فقال : إن رسول الله صلم قال : ان اهل الكتاب افترقوا فى ديهم على الملل، وإن هذه الأمة ستفرقون على ثلاث وسبعين ملة،.... فنزلت الآية  وستكون رحمة
[31]Departemen Agama RI, op. cit., h. 94
[32]CD. Rom Hadīś al-Syarīf al-Kutub al Tis’ah dalam Shahih, hadis nomor 70, Kitab Iman
[33]QS. Ali Imran (3): 110
[34]QS. al-Baqarah (2): 142
[35]QS. al-Maidah (5): 66
[36]QS. Ali Imran (3): 159
[37]QS. al-Hujurat (49): 9
[38]QS. al-nahl (16): 125
[39]Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung: Mizan, 1997), h. 4

Comments

  1. Replies
    1. :) makasih yah! ini sekedar pelengkap kuliah. bentar kalau aku semester dua bakal posting karya tulis ilmiah baru sesuai tugas yg diberikan oleh dosen

      Delete

Post a Comment

شُكْرًا كَثِرًا
Mohon titip Komentarnya yah!!
وَالسَّلامُ عَليْكُم

Popular posts from this blog

Strategi Kepemimpinan Ali Bin Abu Thalib

BAB I PENDAHULUAN A.       Latarbelakang Masalah Nabi Muhammad saw. Tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat Islam setelah beliau wafat. Beliau tampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum Muslimin untuk menentukannya sendiri. Kaena itu, tidak lama setelah beliau wafat; belum lagi jenazahnya dimakamkan, sejumlah tokohMuhajirin dan Ashor Berkumpul dibalai kota   Bani Sa’dah, Madinah.  

Kedudukan Ar-ra'yu sebagai Landasan Hukum Islam

Referensi Pada dasarnya umat Islam yang beriman Kepada Allah swt. Meyakini bahwa Sumber utama Ajaran Islam yaitu Alquran dan Hadis sudah sempurna. Firman Allah dalam Alquran sudah sempurna membahas aturan-aturan, hukum, ilmu pengetahuan (filsafat), kisah, ushul fiqh dan lain-lain. Begitu juga Hadis Rasulullah yang salah satu sifatnya menjadi penjelasan ayat-ayat dalam Alquran. Posisi Hadis adalah penjelas dan sumber kedua setelah Alquran.

Dasar-dasar Pendidikan Islam

DASAR-DASAR PENDIDIKAN ISLAM (Tinjauan al-Qur'an dan Hadis) Oleh : Kelompok 2 A.    Pendahuluan Islam mempunyai berbagai macam aspek, di antaranya adalah pendidikan (Islam). Pendidikan Islam bermula sejak nabi Muhammad Saw, menyampaikan ajaran Islam kepada umatnya. [1]   Pendidikan adalah proses atau upaya-upaya menuju pencerdasan generasi, sehingga menjadi manusia dalam fitrahnya. Itu artinya bahwa pendidikan merupakan conditio sine quanon yang harus dilakukan pada setiap masa. Berhenti dari gerakan pendidikan berarti   lonceng kematian (baca; kemunduran atau keterbelakangan) telah berbunyi dalam masyarakat atau negara.